JAKARTA - Bank Indonesia (BI) tengah menyiapkan langkah untuk menekan tingginya plafon kredit perbankan yang belum dicairkan. Langkah ini dilakukan untuk mendorong kredit lebih cepat tersalur ke sektor riil.
Dalam laporan hasil Rapat Dewan Gubernur BI edisi Desember 2025, disebutkan bahwa kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) berbasis kinerja diperkuat. Kebijakan ini berlaku sejak 1 Desember 2025 dan diperkuat lagi pada 16 Desember 2025.
Tujuan utama kebijakan ini adalah mempercepat penurunan suku bunga perbankan. Selain itu, BI tetap mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif.
Insentif KLM ditingkatkan untuk perbankan yang menurunkan suku bunga kredit lebih cepat. Besaran insentif untuk interest rate channel naik dari paling tinggi 0,5% menjadi 1,0% Dana Pihak Ketiga (DPK).
Sedangkan insentif untuk penyaluran kredit (lending channel) masih besar. Saat ini mencapai paling tinggi 4,5% dari DPK.
Hingga 16 Desember 2025, total insentif KLM mencapai Rp388,1 triliun. Insentif tersebut disalurkan ke bank BUMN Rp177,1 triliun, bank swasta nasional Rp169,5 triliun, BPD Rp34,6 triliun, dan kantor cabang bank asing Rp7 triliun.
Penyaluran Insentif Berdasarkan Sektor Prioritas
Insentif KLM ditujukan ke sektor-sektor prioritas yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor tersebut meliputi pertanian, industri, hilirisasi, jasa, ekonomi kreatif, konstruksi, real estate, perumahan, serta UMKM dan koperasi.
Melalui penyaluran kredit ke sektor produktif, BI berharap permintaan kredit meningkat. Hal ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Program Percepatan Intermediasi Indonesia (Pinisi) menjadi salah satu instrumen utama. Program ini ditujukan mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, program Pinisi juga fokus pada pembangunan persepsi kepercayaan ekonomi. Kepercayaan ini penting agar masyarakat dan pelaku usaha tidak bersikap wait and see.
Selain itu, koordinasi lintas otoritas diperkuat. BI bekerja sama dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan kementerian terkait untuk mengidentifikasi sektor prioritas.
Pendekatan ini memastikan kredit tersalur ke area yang paling berdampak pada aktivitas ekonomi. Strategi ini juga memperkuat efektivitas insentif likuiditas makroprudensial.
Perilaku Nasabah dan Kredit Belum Dicairkan
Hingga November 2025, plafon kredit yang belum dicairkan masih tinggi. Total mencapai Rp2.509,4 triliun atau 23,18% dari total plafon yang tersedia.
Menurut Asisten Gubernur BI Solikin M. Juhro, perilaku ini disebabkan perusahaan cenderung menunggu prospek ekonomi. Pelaku usaha memilih strategi wait and see sebelum menarik kredit.
Selain itu, tingkat suku bunga yang relatif tinggi mendorong korporasi menahan penarikan. Banyak yang lebih mengandalkan dana internal ketimbang mengambil pinjaman baru.
Data BI menunjukkan, pertumbuhan kredit perbankan pada November 2025 hanya naik tipis. Pertumbuhan mencapai 7,74% year-on-year (yoy), meningkat sedikit dari 7,36% pada bulan sebelumnya.
Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8–11% yoy. Proyeksi ini akan meningkat pada 2026 seiring penyaluran kredit lebih optimal.
Likuiditas Bank dan Dukungan Ekonomi
Kapasitas pembiayaan bank tetap memadai. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) meningkat menjadi 29,67% pada November 2025.
Pertumbuhan DPK juga mendukung kapasitas pembiayaan. Hingga November 2025, DPK tumbuh sebesar 12,03% yoy.
Ekspansi likuiditas moneter berperan penting dalam peningkatan kapasitas bank. Selain itu, pelonggaran Kebijakan Insentif Makroprudensial (KLM) turut mendorong kemampuan penyaluran kredit.
Ekspansi keuangan pemerintah juga memperkuat kapasitas perbankan. Penempatan dana pemerintah pada beberapa bank besar memberikan likuiditas tambahan.
Dengan kondisi ini, BI optimis kredit perbankan akan lebih cepat tersalur ke sektor produktif. Penyaluran ini diharapkan menstimulus pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
Selain itu, transmisi suku bunga yang lebih efektif dapat menurunkan biaya kredit bagi pelaku usaha. Dampaknya, investasi dan konsumsi di sektor riil diharapkan meningkat signifikan.
Bank Indonesia menekankan pentingnya kredibilitas dan komunikasi kebijakan. Menurut Solikin, masyarakat dan pelaku usaha harus yakin dengan target dan implementasi kebijakan BI.
Strategi BI ini menunjukkan kombinasi antara instrumen reguler dan makroprudensial. Pendekatan ini diharapkan mendorong respons permintaan kredit sekaligus menjaga stabilitas sistem keuangan.